MAQOM KALIGRAFI DALAM SENI RUPA*

Written by Drs H Didin Sirojuddin AR, M.Ag on Jumat, 21 November 2008 at 06.34

Pembicaraan tentang seni kaligrafi telah sampai ke tingkat yang sangat bergemuruh. Dimulai dari sejak ayat-ayat Alquran pertama yang berkenaan dengan ‘perintah baca tulis’ sampai masa-masa paling kiwari saat aksara telah beradaptasi dan jadi bagian yang lebih integral dengan ragam garapan seni rupa moderen.

Di zaman pertengahan Islam, seni kaligrafi diajarkan di institusi-institusi pendidikan khusus yang bernama Madrasah Tahsin al-Khutut Al-‘Arabiyah sebagai subyek kurikulum wajib. Para pelajar berbakat yang prospektif dan menonjol memperoleh pelajaran spesial dari para master kaligrafi. Sejak itu, kaligrafi berkembang pesat dan dtuangkan dalam rupa-rupa garapan di aneka media untuk menyalin mushaf Alquran, naskah transaksi dan dokumen, monumen arkeologis, dekorasi interior, iluminasi perabotan rumah, sarana-sarana advertensi, dan lukisan-lukisan di muka media yang lain.

Yang lebih penting di sini, selain telah sejak lama masuk ke dalam lingkup seni rupa, kecenderungan minat dan perkembangan kaligrafi yang pesat bukan semata “pelarian” dari larangan menggambar di periode awal Islam sebagai satu-satunya alasan fiqhiyah, melainkan karena kedudukannya yang dianggap melebihi maqom seni menggambar landscape yang juga sangat populer di dunia Islam. Lebih jauh, kaligrafi diangkat sebagai art of Islamic art (seninya seni Islam) karena fungsinya sebagai bahasa visual dari ayat-ayat suci.

Kaligrafi juga sangat fleksibel dan lebih mampu menerjemahkan pemikiran abstrak (untuk itu kaligrafi disebut pula seni abstrak atau seni tawhid) untuk tujuan-tujuan apresiasi dan ekspresi. Agaknya, kaligrafi yang dirasakan oleh para khattat dan pelukis “mempunyai pelbagai kemungkinan untuk membentuk huruf-huruf sebagai penafsiran garis yang bersambungan”, memberikan daya tarik tersendiri kepada para seniman.

Huruf adalah lambang bunyi. Bila bunyi-bunyi digabungkan, maka makna pun timbul. Sebab itu pula kaligrafi disebut lisan al-yadd (lidahnya tangan), karena dengan tulisan itulah tangan berbicara. Dalam pelbagai metafora, kaligrafi juga dilukiskan sebagai kecantikan rasa, duta akal, penasihat pikiran, senjata pengetahuan, penjinak saudara dalam pertikaian, pembicaraan jarak jauh, penyimpan rahasia dan rupa-rupa masalah kehidupan, ringkasnya”kaligrafi adalah ruh di dalam tubuh” seperti dikatakan sebagian ulama. Pesan yang sama timbul dari sebuah karya seni rupa: ada sesuatu yang digoreskan, unsur garis, dan pesan-pesan.

Sangat jelas, meskipun pada awalnya sederhana, kaligrafi Islam sat ini tidak cukup dianggap hanya sebagai unsur tambal, pelengkap, atau penghias sebuah lukisan semata, melainkan telah benar-benar jadi “jasad dari ruh” seni rupa. Terlebih dengan munculnya beberapa perubahan ekstrim yang kerap hadir di lapangan kaligrafi Arab waktu-waktu terakhir (yang melahirkan kaligrafi kontemporer mengikuti arus perkembangan seni rupa kontemporer dunia).

Cara lain mendekatkan kaligrafi ke unsur (dan jadi bagian dari) seni rupa adalah kenyataan hasil usaha para mpu kaligrafi (yang dimotori Ibnu Muqlah dari Baghdad) untuk menorehkan huruf dengan senantiasa mengikuti prinsip-prinsip desain yang mencakup: kontras, balans, proporsi, ritme (irama) dan kesatuan (unity).

Dalam istilah yang sedikit berbeda, Ibnu Muqlah mengungkapkan prinsip-prinsip desain kaligrafi sebagai berikut: taufiyah (selaras), itmam (tuntas, unity), ikmal (sempurna, perfect), isyba’ (parallel, proporsi), dan irsal (lancar). Prinsip-prinsip ini sebenarnya tidak jauh dari tatacara penulisan yang ideal sebagaimana dikemukakan Rasulullah saw kepada Abdullah ibn Umar:

“Wahai Abdullah, renggangkanlah jarak spasi, susunlah huruf-huruf dalam komposisi, peliharalah proporsi dalam bentuk-bentunya, dan berilah setiap huruf hak-haknya.”

Ketergantungan pada prinsip geometri dan aturan keseimbangan (yang disebut al-khat al-mansub alias kaligrafi berstandar) pada gaya-gaya khat klasik seperti Naskhi, Sulus, Diwani, Farisi, Kufi, Rayhani, dan Riq’ah, hingga aliran “pembebasan” dari prinsip baku dalam gaya-gaya kontemporer (yaitu kaligrafi kontemporer tradisional, figural, ekspresionis, simbolis, dan abstrak) masih saja berada dalam pagar prinsip seni rupa, karena aturan dan teknik pengerjaannya tidak semata terletak pada teknik penulisan (atau tidak hanya selesai pada huruf), tetapi juga pada pemilihan warna, bahan tulisan, medium, hingga pena atau kuas sebagai instrumen tulisan, bahkan biasanya sampai pemilihan ayat yang harus sesuai dengan pesan-pesan lukisan secara keseluruhan.

Kesempurnaan syarat-syarat tersebut semakin menegaskan hakikat kaligrafi yang harus tampil indah fisik dan batin atau pesan-pesan yang dikandungnya, seperti dinyatakan khattat Yaqut Al-Musta’simi:

“Kaligrafi adalah ilmu ukur spiritual yang lahir via perabot kebendaan.”

Dengan penyebarannya yang meluas di kalangan seniman dan individu, atau melalui media pameran, artefak, dan lembaga-lembaga, seni kaligrafi semakin mantap menempatkan dirinya dalam nuansa seni rupa klasik dan moderen yang terus berkembang di seluruh dunia.

------------------------------

*Pengantar Katalog Berita Serambi Pirous ed. 1, Bandung: Februari 2002

4 Responses to "MAQOM KALIGRAFI DALAM SENI RUPA*"

Comment by e-rusmin.blogger.com
12 Februari 2010 pukul 21.35 #  

Assalamualaikum, Ustad, kalo bisa tlg dong buat uraian metode atau aturan pd khat kontemporer yg akan di lombakan, makasih sbelumnya, syukron katsiro..min Riau.

Comment by Unknown
2 November 2010 pukul 19.34 #  

ustad, klo bsa dcantumkan jugan contoh karya karya kaligrafi kontemporernya,,, syukron dri BLITAR

Comment by arjo el-Jauhar
27 Januari 2011 pukul 23.57 #  

assalamu'alaikum
Pa Ustadz kalau boleh saya minta izin untuk meng-copy uraian diatas.
tarimakasih
wassalamu'alaikum

Anonim
12 Juli 2015 pukul 23.08 #  

Obat Penyakit Jantung Koroner
jelly gamat tradisional
obat benjolan di gusi
obat pengering luka
obat nyeri lutut
obat hepatitis pada anak
obat benjolan di ketiak
obat pengering luka jahitan