MENGIBARKAN SENI MUSHAF

Written by Drs H Didin Sirojuddin AR, M.Ag on Sabtu, 15 November 2008 at 06.32

Sepanjang Festival Istiqlal II berlangsung, tak ada ungkapan yang melebihi popularitas kata mushaf. Padahal, selama ini, istilah ini tak lebih populer dari kata Alquran di telinga kebanyakan umat Islam Indonesia.

Baik Alquran maupun mushaf punya makna berdekatan, yakni “kumpulan bacaan atau lembaran” (di antara dua sampul). Agaknya, karena yang pertama lebih akrab kepada makna membaca atau bacaan, maka pemakaiannya lebih sering.

Kalau kita kembali kepada lembaran-lembaran berisi bunyi wahyu yang terjepit di antara dua sampul tadi (yang diistilahkan dengan bain daffatain), maka istilah mushaf lebih layak digunakan. Sebut, misalnya, Mushaf Imam atu Mushaf Usman, untuk kitab suci tulisan Usman bin Affan. Lalu Mushaf Al-Qadisiyah dan Mushaf Al-Madinah. Di Indonesia digunakan kata Mushaf Alquran untuk menyebut Mushaf Alquran Standar Indonesia keluaran Departemen Agama.

Menurut Hasan Qasim Al-Bayati di dalam kitabnya Rihlatu al-Mushaf al-Syarif, penamaan mushaf datang belakangan setelah Alquran dikumpulkan dan ditulis. Penamaan itu pun, katanya adalah buatan manusia. Berbeda dengan kata Alquran, Al-Bayan, Al-Kitab, Al-Furqan, Al-Kalim atau Al-Zikr, yang kesemuanya langsung dari Allah dan tertuang dalam kitab suci tersebut.
Karena mushaf dijadikan idola dari seluruh barang pameran di Festival Istiqlal, maka perhatian terhadap seni mushaf, seakan, dihidupkan kembali. Peristiwa terpenting adalah kesediaan Presiden Soeharto membubuhkan huruf ba dalam Basmalah pada surat Al-Fatihah, saat Mushaf istiqlal mulai ditulis. Kemudian penandatanganan beliau di ujung mushaf saat kitab suci tersebut dinyatakan rampung dan siap diluncurkan kepada masyarakat pada pembukaan FI.

Lembar demi lembar Mushaf Istiqlal dengan perpaduan 42 ragam iluminasi lokal, telah membuat kagum pengunjung. Dalam hal ini, kekayaan ragam iluminasi Mushaf Istiqlal, dapat dihitung, terunggul di dunia, sampai saat ini. Ini, karena seluruh mushaf yang ada selama ini hanyalah karya-karya individual yang lahir dari kekuatan imaji seorang khattat (kaligrafer). Sedangkan Mushaf Istiqlal dikerjakan oleh (perkongsian) khattat dengan para perupa ahli iluminasi.

Gagasan iluminasi ini pun merupakan hasil studi kelayakan yang diolah ulang dalam mesin computer sekian lama. Maka, penampilan Mushaf Istiqlal sudah sangat jauh meninggalkan gaya mushaf goresan Ibnu Bauwab (w 1022 M), bapak iluminasi Alquran.
Yang harus dipikirkan selanjutnya adalah, menjadikan momen tadi sebagai gong untuk proyek pengembangan seni mushaf lebih jauh ke depan, usai festival Istiqlal.

Dukungan ulil Amri dan Ulama
Yang pertama harus dilihat, keterlibatan Presiden dalam goresan awal Mushaf Istiqlal bermakna politis yang akan memicu “kebangkitan kedua” seni mushaf di Nusantara.
Kejayaan seni mushaf di masa-masa keemasan kerajaan-kerajaan Islam pun ditandai campur tangan elite penguasa. Selain Rsulullah SAW dan empat Khulafaur Rasyidin, khalifah pertama dari Bani Umaiyah, Muawiyah bin Abi Sufyan (661-681 M) adalah kepala Negara yang mendorong penggalian akar-akar tulisan untuk penyalinan mushaf. Sebelumnya, mushaf ditulis hanya dengan khat Kufi yang kurang praktis. Instruksi Muawiyah membuka peluang penulisan mushaf dengan khat-khat Jalil, Tumar, Sulus, Muhaqqaq, Raihani, dan Naskhi.

Para khalifah pasca Muawiyah selalu hadir sebagai Bapak Pelindung penulis mushaf. Hasilnya, setiap pemerintahan ditandai oleh mushaf-mushaf yang jadi kebanggaan Negara. Puncak keelokan iluminasi mushaf dapat dilihat pada arsip kerajaan-kerajaan Turki Usmani: Ilkhaniyah, Timuriyah, dan Safawiyah. Jumlahnya sangat melimpah, sebagai buah penciptaan periode tersebut. Akibat lain, seni mushaf hadir dan mendapat tempat khusus di antara ragam seni Islam yang lain.

Contoh perlindungan--dan yang merupakan bukti kecintaan luarbiasa terhadap seni mushaf dan penulisnya--diperlihatkan Sultan Usmani, Bayazid II (1481-1520). Selain sengaja belajar kaligrafi kepada khattat terbesar Syeikh Hamdullah Al-Amasi (w 1520), Sultan pun memberinya pujian final dengan kesediaannya menjadi tukang pegang tinta saat Syeikh menggores mushaf.
Sementara itu, mushaf-mushaf Nusantara yang umumnya ditulis para ulama pada pucuk abad 16 hingga awal abad 20, meski belum mengadat di masyarakat umum, dapat digolongkan kepada rentetan gelombang pertama seni mushaf di Indonesia. Sayang, naskah-naskah asli yang tersimpan di pelbagai museum dan masjid kuno tersebut tidak meninggalkan data lengkap, misalnya tentang proses penulisannya dan keterlibatan elite penguasa. Bahkan, tahun penulisan dan nama penulisnya pun jarang disebut. Hanya, jika mushaf-mushaf tersebut tersimpan di masjid-masjid (dekat) istana, kemungkinan besar mendapat sokongan keluarga istana, mengingat harga kertas yang mahal dan sulit diperoleh. Apakah penguasa colonial Belanda juga memberikan dukungan? Kalau sebaliknya, kemungkinan mushaf ditulis diam-diam, jauh dari pusat kekuasaan.

Proyek pengembangan seni mushaf dengan menarik dukungan elite penguasa sangat diperlukan. Pertama, akan memberikan legitimasi dan justifikasi sekaligus, setelah mushaf dikoreksi Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran departemen Agama. Kedua, memudahkan pencarian dana, mengingat pengerjaannya makan waktu lama dan menguras energi. Ketiga, memungkinkan menarik simpati dan perlindungan ulama, selama dan sesudah mushaf ditulis. Keempat, memberikan spirit kepada para khattat dan ahli iluminasi untuk berkarya.
Program bisa dimulai dengan penulisan serentak mushaf-mushaf (atas nama) daerah, menyusul Alquran Pusaka yang ditulis al-khattat H.M. Salim Fachry atas permintaan Presiden Soekarno dan Mushaf Istiqlal yang mendapat perlindungan Presiden Soeharto.

Kalau setiap Pemda menggerakkan para khattat dan ahli iluminasi untuk masing-masing menulis satu mushaf, gebyar Festifal Istiqlal III 2000 akan bertambah marak, melalui penampilan 27 ragam mushaf dengan 27 corak hias masing-masing propinsi. Padahal, di setiap propinsi terdapat lebih satu ragam adat. Jika pengembangannya diteruskan ke kabupaten-kabupaten, alangkah semaraknya. Yang ditampilkan nanti adalah karya-karya moderen yang lebih representatif. Sebab, tidak mungkin melulu memamerkan mushaf-mushaf kuno yang itu-itu juga, seperti pada dua kali festival.

Dengan ide-ide cemerlang ini, ambisi untuk menjadikan Indonesia pusat seni mushaf dunia tidak mustahil diraih. Gagasan ini berulang-ulang dilontarkan para perencana Festival Istiqlal seperti Prof. Drs. A.D. Pirous, Mahmud Buchari, dan Ir. Ahmad Noe’man yang menangani langsung pengerjaan proyek Mushaf Istiqlal.

Penulisan mushaf bisa juga ditangani swasta. Selain penghias ruangan, mushaf tulisan tangan ini dapat dibaca saban saat sambil dinikmati pesona iluminasinya di rumah-rumah pengusaha. Seperti lukisan kaligrafi, proyek mushaf beriluminasi lokal ini akan menarik minat banyak kalangan elite kolektor atau pecinta lukisan bernuansa Islam.

Potensi Pengembangan
Sekarang, sangat mudah memperoleh mushaf-mushaf tercetak dengan harga murah di took-toko bahkan di kaki lima. Itu untuk kebutuhan fungsional. Sedangkan mushaf tulisan tangan yang “dilukis-lukis” merupakan kebutuhan estetis yang tidak mungkin tergusur oleh mushaf-mushaf cetakan.
Dalam MTQ tingkat nasional sampai kelurahan, hiasan mushaf merupakan satu dari tiga sub bidang kaligrafi yang dilombakan. Pada MTQ Nasional ke-17, 1994, di Pekanbaru, jumlah pesertanya meningkat enam kali lipat dibanding pada MTQ Nasional ke-16, tiga tahun sebelumnya.

Sayembara seni mushaf yang diselenggarakan Departemen Agama, Mei 1995, dan untuk kedua kalinya oleh Festival Istiqlal diikuti lebih seratus gabungan khattat dan illuminator. Ini kemajuan luarbiasa, sebagai pantulan gema seni mushaf melalui isu Mushaf Istiqlal, empat tahun terakhir.

0 Responses to "MENGIBARKAN SENI MUSHAF"